What We Read


Wednesday, January 5, 2011

Kecanduan Chicklit: mina's First Post

Sebelum menulis tentang topik sebenarnya, mumpung inget, izinkan diriku ngobrolin hal lain dulu ya hohoho....

Ini adalah post pertamaku di blog bareng ini. Dan diriku cuma mau bilang: senang sekali diundang barengan ngeblog tentang buku. Tahun lalu terlalu banyak ngomong (atau ngetik ya?) di mana-mana, di Blog orang, di Plurk, di Twitter, sampai-sampai membaca buku pun tidak banyak. Apalagi mereview. Mudahan blog bersama ini bisa mengubahnya ya :D Kan jadi termotivasi untuk menulis kalau yang lain juga nulis -mari berharap ini akan bertahan setidak-tidaknya sampai pertengahan tahun-
Belum ditambah dengan kesulitanku untuk masuk ke dalam blog ini huaaaaaa.... Dari dulu diriku tahu Blogger ini kayaknya ada semacam kebencian gitu padaku :p Sampai harus ganti account user.

Baiklah, cukup side story-nya.

Yang kenal diriku tentu tahu bahwa isi rak bukuku, dulunya, penuh dengan genre adventure, fantasy, thriller, horror, komedi. Sedangkan romance? Satu-satunya romance yang kusuka hanyalah karya Marga T. Yah sebenarnya sih ini karena mom merekomendasikan ini sejak diriku kecil, dan karena diriku percaya betul pada apa pun kata my mom (anak mami), maka semua penulis romance Indonesia lain tidak kusukai. Jangan-jangan mom ada hasrat tersembunyi anaknya jadi dokter yah, makanya disuruh baca Marga T melulu. Pendeknya, diriku tumbuh besar dengan semboyan: "Buku roman itu jelek, kecuali karya Marga T."

Kemudian era buku roman terjemahan terbitan Gramedia dengan nama genre Chicklit muncul, dengan cover yang susah ditolak (diriku pembeli buku based on its cover). Warna-warna es krim, gambar-gambar yang comical, font judul yang tidak kaku, kan menarik sekali tuh. Walau logo bersemboyan "being single and happy"-nya menggangguku, karena isi bukunya sangat jauh dari semboyannya sendiri, lebih tepatnya sebenarnya mereka menekankan sekali bahwa "being single is the-end-of-the-world". Tapi ceritanya begitu gampang diikuti, tidak perlu mikir, tidak perlu ketakutan, bisa diletakkan kembali tanpa menyelesaikannya (tanpa rasa penasaran hebat). Semuanya happy ending. Bahasanya juga gaul (ini sih kehebatan penerjemahnya ya). Membacanya jadi tanpa beban.

Diriku ingat betul my first chicklit dan kebetulan menurutku the best chicklit ever: "The Boy Next Door"-nya Meg Cabot (Belakangan Meg Cabot memang jadi salah satu penulis favoritku di genre chicklit dan teenlit). Pinjaman pula dari temen kos. Waktu itu tahun 2003 kayaknya. Selain covernya (versi pertamanya waktu itu) yang menarik, ceritanya yang menyenangkan dan lucu, tokoh-tokoh yang nampak cerdas, cara menulisnya pula sesuai sekali dengan jiwaku (*halah*): dalam format saling jawab email. Sejak itu diriku terperangkap. Walau tidak banyak lagi chicklit terjemahan yang ratingnya bagus, tapi kecanduan membacanya tetep ada. Bahkan sekarang diriku merambah juga ke serial chicklit lokal seperti Glam Girls. Addictive, with a ting of guilt inside :D Kalau chicklit non terjemahan, satu-satunya yang menurutku bagus adalah karya Katie Fforde. Tokoh-tokohnya saling melempar kalimat sarkastis dan witty. Ceritanya juga tidak mendayu-dayu. Worth to try. Sayang susah dicari, diriku cuma pernah baca 2: Thyme Out (love it love it love it!) dan Highland Fling. Ada yang mau menghadiahiku buku-bukunya Fforde? Silakan, listnya dicek di websitenya hohoho.

Balik ke chicklit terjemahan. Yah seperti serial Shopaholic-nya Sophie Kinsella itu, sudah tau gak suka ceritanya, eh kok tetap dibeli dan diikuti juga. In fact, buku pertamaku (dan my first review nantinya) adalah Mini Shopaholic, seri keenam dari seri yang sepertinya akan terus dia panjang-panjangin tanpa perkembangan yang jelas.

Ya, sekian dulu perkenalannya :)

Foto diambil dari situs news BBC.

4 comments: